Setiap
suku bangsa memiliki adat tersendiri yang merupakan pencerminan
kepribadian dan penjelmaan dari pada jiwa bangsa itu sendiri. Demikian
pula bangsa Bugis memiliki tatanan hukum adat dalam menjalani kehidupannya.
Adat
merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa yang berlangsung turun
temurun dari abad ke abad. Setiap bangsa di dunia tentu memiliki adat
kebiasaan sendiri-sendiri, yang satu berbeda dengan yang lainnya.
Sehingga ketidaksamaan inilah yang memberikan identitas antara bangsa
yang satu dengan yang lainnya.
Adat
diibaratkan sebuah fundasi yang kukuh, sehingga kehidupan modern pun
ternyata tidak mampu melengserkan adat-kebiasaan yang hidup dalam
masyarakat. Karena adat itu dapat mengadaptasikan diri dengan keadaan
dalam proses kemajuan zaman sehingga adat itu tetap kekal dan tegar
menghadapi tantangan zaman.
Hukum
adat merupakan sesuatu tatanan hidup masyarakat yang kemudian menjadi
hukum yang tidak tertulis. walaupun demikian tetap dipatuhi berdasarkan
atas keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan
hukum.
Dahulu,
dikalangan bangsa Bugis Bone dikenal hukum adat dengan istilah
“Malaweng”. Dari berbagai sumber yang diperoleh penulis bahwa, Hukum
Adat Malaweng itu terdapat tiga tingkatan, yaitu :
1. Malaweng
tingkat pertama (Malaweng Pakkita), yakni sesorang yang melakukan
pelanggaran melalui pandangan mata. Misalnya, menatap sinis kepada orang
lain, menatap tajam laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya dan
lain sejenisnya.
2. Malaweng
tingkat kedua (Malaweng Ada-ada), yakni seseorang yang melakukan
pelanggaran melalui kata-kata yang diucapkan. Misalnya, berkata yang
tidak senonoh kepada orang, membicarakan aib orang lain, berkata sombong
dan angkuh, berkata kasar kepada lawan bicaranya, dan lain sejenisnya.
3. Malaweng
tingkat ketiga ( Malaweng Kedo-kedo), yakni seseorang yang melakukan
pelanggaran karena perbuatan tingkah laku. Misalnya, laki-laki melakukan
hubungan intim dengan perempuan adik atau kakak kandungnya sendiri,
membawa lari anak gadis (silariang), melakukan hubungan intim dengan
ibu/ayah kandungnya sendiri, menghilangkan nyawa orang lain, mengambil
barang orang lain tanpa sepengetahuan yang punya, dan lain sejenisnya.
Dahulu, khusus dalam hal kawin mawin dengan saudara kandungnya sendiri atau ayah/ibu kandungnya sendiri tergolong
pelanggarang pelanggaran adat yang paling berat karena apabila hal ini
terjadi maka keduanya baik laki-laki maupun perempuan mendapat hukuman
dengan cara “Riladung” yakni keduanya dimasukkan ke dalam sebuah
karung yang diikat dengan tali kemudian ditenggelamkan ke dasar laut
dengan menggunakan alat pemberat batu. Dahulu, salah satu tempat
eksekusi yang ada di Bone adalah Kawasan Tanjung Pallette yang berjarak
12 km dari kota Watampone sekarang ini. Keduanya dinaikkan kesebuah
perahu kecil dan dibawa ke arah timur sejauh 3 km dari pantai Tanjung
Pallette kemudian ditenggelamkan ke laut.
(Teluk Bone)
0 komentar:
Posting Komentar