Minggu, 07 Oktober 2012

Malaweng dan Hukum Adat Bangsa Bugis


Setiap suku bangsa memiliki adat tersendiri yang merupakan pencerminan kepribadian dan penjelmaan dari pada jiwa bangsa itu sendiri. Demikian pula bangsa Bugis memiliki  tatanan hukum adat dalam menjalani kehidupannya.
Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa yang berlangsung turun temurun dari abad ke abad. Setiap bangsa di dunia tentu memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri, yang satu berbeda dengan yang lainnya. Sehingga ketidaksamaan inilah yang memberikan identitas antara bangsa yang satu dengan yang lainnya.
            Adat diibaratkan sebuah fundasi yang kukuh, sehingga kehidupan modern pun ternyata tidak mampu melengserkan adat-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Karena adat itu dapat mengadaptasikan diri dengan keadaan dalam proses kemajuan zaman sehingga adat itu tetap kekal dan tegar menghadapi tantangan zaman.
            Hukum adat merupakan sesuatu tatanan hidup masyarakat yang kemudian menjadi hukum yang tidak tertulis. walaupun demikian tetap dipatuhi berdasarkan atas keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
            Dahulu, dikalangan bangsa Bugis Bone dikenal hukum adat dengan istilah “Malaweng”. Dari berbagai sumber yang diperoleh penulis bahwa, Hukum Adat Malaweng itu terdapat tiga tingkatan, yaitu :
1.    Malaweng tingkat pertama (Malaweng Pakkita), yakni sesorang yang melakukan pelanggaran melalui pandangan mata. Misalnya, menatap sinis kepada orang lain, menatap tajam laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya dan lain sejenisnya.
2.    Malaweng tingkat kedua (Malaweng Ada-ada), yakni seseorang yang melakukan pelanggaran melalui kata-kata yang diucapkan. Misalnya, berkata yang tidak senonoh kepada orang, membicarakan aib orang lain, berkata sombong dan angkuh, berkata kasar kepada lawan bicaranya, dan lain sejenisnya.
3.    Malaweng tingkat ketiga ( Malaweng Kedo-kedo), yakni seseorang yang melakukan pelanggaran karena perbuatan tingkah laku. Misalnya, laki-laki melakukan hubungan intim dengan perempuan adik atau kakak kandungnya sendiri, membawa lari anak gadis (silariang), melakukan hubungan intim dengan ibu/ayah kandungnya sendiri, menghilangkan nyawa orang lain, mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan yang punya, dan lain sejenisnya.
Dahulu, khusus dalam hal kawin mawin dengan saudara kandungnya sendiri atau ayah/ibu kandungnya sendiri  tergolong pelanggarang pelanggaran adat yang paling berat karena apabila hal ini terjadi maka keduanya baik laki-laki maupun perempuan mendapat hukuman dengan cara “Riladung” yakni keduanya dimasukkan ke dalam sebuah karung yang diikat dengan tali kemudian ditenggelamkan ke dasar laut dengan menggunakan alat pemberat batu. Dahulu, salah satu tempat eksekusi yang ada di Bone adalah Kawasan Tanjung Pallette yang berjarak 12 km dari kota Watampone sekarang ini. Keduanya dinaikkan kesebuah perahu kecil dan dibawa ke arah timur sejauh 3 km dari pantai Tanjung Pallette kemudian ditenggelamkan ke laut.
 (Teluk Bone) 

0 komentar:

Posting Komentar